TEORI BELAJAR
Dalam proses mengajar belajar, penguasaan
seorang guru dan cara menyampaikannya
merupakan syarat yang sangat
essensial. Penguasaan guru terhadap materi
pelajaran dan pengelolaan kelas sangatlah
penting, namun demikian belum cukup untuk menghasilkan
pembelajaran yang optimal. Selain menguasai materi
matematika guru sebaiknya menguasai tentang teori-teori
belajar, agar dapat mengarahkan peserta
didik berpartisipasi secara intelektual dalam belajar,
sehingga belajar menjadi bermakna bagi
siswa. Hal ini sesuai dengan isi lampiran
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor
16 Tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang
menyebutkan bahwa penguasaan teori belajar
dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik menjadi salah
satu unsur kompetensi pedagogik yang harus dimiliki guru.
Jika seorang guru
akan menerapkan suatu
teori belajar dalam
proses belajar mengajar, maka guru tersebut harus memahami seluk beluk
teori belajar tersebut sehingga selanjutnya
dapat merancang dengan baik
bentuk proses belajar mengajar yang akan
dilaksanakan. Psikologi belajar atau disebut dengan Teori
Belajar adalah teori yang mempelajari perkembangan
intelektual (mental) siswa.
Penjelasan berikut merangkum berbagai jenis Teori
belajar, antara lain:
A) TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan
tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus (rangsangan) dan
respon (tanggapan). Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang
dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang
baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap
telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan pada tingkah lakunya.
Menurut teori ini hal yang paling penting
adalah input (masukan) yang berupa stimulus dan output (keluaran) yang berupa
respon. Menurut toeri ini, apa yang tejadi diantara stimulus dan respon dianggap
tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur.
Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa saja yang
diberikan guru (stimulus) dan apa yang dihasilkan siswa (respon), semuanya
harus dapat diamati dan diukur. Teori ini lebih mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadinya perubahan
tungkah laku tersebut. Faktor lain yang juga dianggap penting adalah faktor
penguatan. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon.
Bila penguatan diitambahkan maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila
penguatan dikurangi maka responpun akan dikuatkan. Jadi, penguatan merupakan
suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan
(dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respon.
Tokoh-tokoh aliran behavioristik diantaranya:
1. Thorndike
Menurut thorndike, belajar merupakan proses interaksi
antara stimulus dan respon. Dan perubahan tingkah laku merupakan akibat dari
kegiatan belajar yang berwujud konkrit yaitu dapat diamati atau berwujud tidak
konkrit yaitu tidak dapat diamati. Teori ini juga disebut sebagai aliran
koneksionisme (connectinism).
2. Watson
Menurut Watson, belajar merpakan proses interaksi antara
stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk
tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diukur. Dengan kata lain, meskipun ia
mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses
belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu
diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam bentuk
benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah
seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati.
3. Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variable hubangan antara
stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian tentang belajar. Namun ia
sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Baginya, seperti teori
evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga
kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori ini mengatakan bahwa
kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati
posisi sentral dalam seluruh bagian manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun
hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis,walaupun respon yang akan
muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya.
4. Edwin Guthrie
Demikian juga Edwin, ia juga menggunakan variabel
stimulus dan respon. Namun ia mengemukakan bahwa stimulus tidak harus
berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan biologis sebagaimana Clark Hull. Ia
juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan
menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon
tersebut.
5. Skinner
Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner
tentang belajar mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para
tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun
dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif.
Menurutnya, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi
dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku,
tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya.
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari
pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
1) Connectionism ( S-R Bond) menurut
Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike
terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
- Law
of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang
memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya,
semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula
hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
- Law
of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan
organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction
unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong
organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
- Law
of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan
semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang
apabila jarang atau tidak dilatih.
2. Classical Conditioning menurut Ivan
Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov
terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
- Law
of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua
macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi
sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
- Law
of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika
refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu
didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan
menurun.
3. Operant Conditioning menurut B.F.
Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner
terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum
belajar, diantaranya :
- Law
of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan
stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
- Law
of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah
diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat,
maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek
yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa
didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer.
Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan
kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan
sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4) Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational
learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan
dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme
lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis
atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai
hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri.
Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu
terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation)
dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang
pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang
individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain
yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang
menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya
yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold
method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak
serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori
pengurangan dorongan.
Dari beberapa tokoh teori behavioristik Skinner merupaka
tokoh yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori behavioristik.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi
pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah
aliran behavioristik. Karena aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku
yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan
stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.
Respon atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu
dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan faktor-faktor penguat (reinforcement), dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Teori ini hingga sekarang masih merajai praktik
pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan
pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti Kelompok Belajar, Taman
Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai di Perguruan
Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan
reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan. Teori ini memandang bahwa
sebagai sesuatu yang ada di dunia nyata telah terstruktur rapi dan teratur,
sehingga siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang
jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin dan
disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih
banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
Berdasarkan uraian di atas, Inti dari teori
belajar behavioristik, adalah
- Belajar
adalah perubahan tingkah laku.
- Seseorang
dianggap telah belajar sesuatu jika ia telah mampu menunjukkan perubahan
tingkah laku.
- Pentingnya
masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran yang
berupa respon .
- sesuatu
yang terjadi diantara stimulus dan respon tidak dianggap
penting sebab tidak bisa diukur dan diamati.
- Yang
bisa di amati dan diukur hanya stimulus dan respon.
- Penguatan
adalah faktor penting dalam belajar.
- Bila
penguatan ditambah maka respon akan semakin kuat , demikian juga jika
respon dikurangi maka respon juga menguat.
Aplikasi teori ini dalam pembelajaran,
bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktivitas “mimetic” yang menuntut
siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian
materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian keseluruhan. Pembelajaran
dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban yang
benar. Jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas
belajarnya.
B. TEORI BELAJAR KOGNITIF
Berbeda dengan teori behavioristik, teori
kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Teori
ini mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus
dan respon, melainkan tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta
pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Teori
kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling
berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Teori ini berpandangan
bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan
informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktivitas
yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Prinsip umum teori Belajar Kognitif, antara
lain:
- Lebih
mementingkan proses belajar daripada hasil
- DIsebut
model perseptual
- Tingkah
laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi
yang berhubungan dengan tujuan belajarnya
- Belajar
merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat
terlihat sebagai tingkah laku yang nampak
- Memisah-misahkan
atau membagi-bagi situasi/materi pelajaran menjadi
komponen-komponen yang kecil-kecil dan memperlajarinya secara
terpisah-pisah, akan kehilangan makna.
- Belajar
merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan
informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya.
- Belajar
merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat
kompleks.
- Dalam
praktek pembelajaran teori ini tampak pada tahap-tahap
perkembangan(J. Piaget), Advance organizer (Ausubel), Pemahaman konsep
(Bruner), Hierarki belajar (Gagne), Webteaching (Norman)
- Dalam
kegiatan pembelajaran keterlibatan siswa aktif amat dipentingkan
- Materi
pelajaran disusun dengan pola dari sederhana ke
kompleks
- Perbedaan
individu siswa perlu diperhatikan, karena sangat mempengaruhi keberhasilan
siswa belajar.
Beberapa pandangan tentang teori kognitif,
diantaranya:
1. Teori perkembangan Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut
sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang
banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu
yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget, perkembangan
kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan
atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya
umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin
meningkat pula kemampuannya. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai
sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya
piker atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara
kualitatif. Menurut Piaget, proses belajar akan terjadi jika mengikuti
tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbangan antara
asimilasi dan akomodasi).
Piaget membagi tahap-tahap perkembangan
kognitif menjadi empat, yaitu:
- Tahap
sensorimotorik (umur 0-2 tahun)
- Ciri
pokok perkembangan berdasarkan tindakan, dan dilakukan selangkah demi
selangkah.
- Tahap
preoperasional (umur 2-7/8 tahun)
- Ciri
pokok perkembangan pada tahap ini adalah penggunanaan symbol atau tanda
bahasa, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif.
- Tahap
operasional konkret (umur 7/8-11/12 tahun)
- Ciri
pokok perkembangan pada tahap ini adalah sudah mulai menggunakan
aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan
kekekalan.
- Tahap
operasional formal (umur 11/12-18 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini
adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola
berpikir “kemungkinan”.
Adapun beberapa prinsip teori perkembangan
Piaget, adalah sebagai berikut:
- Perkembangan
kognitif merupakan suatu proses gentik. Yaitu suatu perkembangan yang
didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf
- Semakin
bertambah umur maka semakin bertambah kompleks susunan syarafnya dan akan
meningkat pula kemampuannya. Daya pikir anak yangb berbeda usia akan
berbeda secara kualitatif
- Proses
adaptasi mmepunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan yaitu akomidasi
dan asimilasi
- Asimilasi
adalah proses perubahan apa yang di pahami seseuai denganstruktur
kognitif. (apabila individu menerima infomasi atau pengalaman baru maka
informasi tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok
dengan struktur kognitif yang dipunyai)
- Akomodasi
adalah proses perubahan struktur kognitif sehingga dapat dipahami (apabila
struktur kognitif yang sudah dimiliki harus disesuaikan dengan informasi
yang diterima).
- Proses
belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi dan
ekuilibrasi (penyeimbangan)
- Asimilasi
(proses penyatuan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah
dimiliki individu), Akomodasi (proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam
situasi yang baru), Ekuilibrasi (penyesuaian
berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi)
- Seorang
anak sudah mempunyai prinsip pengurangan, ketika mempelajri pembagianmaka
terjadi prses intrgtasi antara pengurangan (telah dikuasai)dan
pembagian (info baru) inilah asimilasi.
- Jika
anak diberi soal pembagian, maka situasi ini disebut akomodasi. Artinya
anak sudah dapat mengaplikasikan atau memakai prinsip pembagian
dalam situasi baru
- Proses
penyesuaian antara ling luar dan struktur kognitif yang ada dlm dirinya
disebut ekuilibrasi
- Proses
belajar akan mengikuti tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya
- Tahap
sensorimotor (0-2 thn), preoperasional (2-8 thn), operasional konkret(8-11
thn), operasional formal (12-18 thn)
- Hanya
dengan mengaktifkan pengetahuan dan pengalaman secara optimal asimilasi
dan akomodasi pengatahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik
Implikasi teori perkembangan kognitif
Piaget dalam pembelajaran adalah :
- Bahasa
dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
- Anak-anak
akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik.
Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan
sebaik-baiknya.
- Bahan
yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
- Berikan
peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
- Di
dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan
diskusi dengan teman-temanya.
2. Teori belajar menurut Bruner
Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya
pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dalam teorinya, “free
discovery learning” ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan
baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan
suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia
jumpai dalam kehidupannya. Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang dapat
ditingkatkan dengan cara menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai
dengan tahap perkembangan orang tersebut.
Model pemahaman dari konsep Bruner (dalam
Degeng,1989) menjelaskan bahwa pembentukan konsep dan pemahaman konsep
merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir
yang berbeda pula. Menurutnya, pembelajaran yang selama ini diberikan di
sekolah banyak menekankan pada perkembangan kemampuan analisis, kurang
mengembangkan kemampuan berpikir intuitif. Padahal berpikir intuitif sangat
penting untuk mempelajari bidang sains, sebab setiap disiplin mempunyai
konsep-konsep, prinsip, dan prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang
dapat belajar. Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti, dan
hubungan, melalui proses intuitif dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan
(discovery learning).
Beberapa prinsip teori Bruner adalah:
- Perkembangan
kognitif ditandai dengan adanya kemajuan menaggapi rangsang
- Peningkatan
pengatahun bergantung pada perkembangan sistem penyimpanan informasi
secara realistis
- Perkembangan
intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri
atau pada orang lain
- Interaksi
secara sistematis diperlukan antara pembimbing, guru dan anak untuk
perkembangan kognitifnya
- Bahasa
adalah kunci perkembangan kognitif
- Perkembangan
kognitif ditandai denfgan kecakapan untuk mengemukakan bebrapa alternatisf
secara simultan, memilih tindakan yang tepat.
- Perkembangan
kognitif di bagi dalam tiga tahap yaitu enactive, iconic, symbolic.
- Enaktif
yaitu tahap jika seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk
emmahami lingkungan sekitaanya. (gigitan, sentuhan, pegangan)
- Ikonik,
yaitu tahap seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui
gambar-gambar dan visualisasi verbal (anak belajar melalui bentuk
perumpamaan dan perbandingan
- Simbolik
yaitu tahap seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan abstrak
yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam berbahasa dan logika.( anak
belajar melalui simbol bahasa, logika, matematika)
- Model
pemahaman dan penemuan konsep
- Cara
yang baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti, dan hubungan
memlalui proses intuitif untuk akhirnya sampai pada kesimpulan (discovery
learning)
- Siswa
diberi kekebasan untuk belajar sendiri melalui
aktivitas menemukan (discovery)
3. Teori belajar bermakna Ausubel
Menurut Ausubel, belajar seharusnya
merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa. Materi yang dipelajari
diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengtahuan yang telah dimiliki siswa
dalam bentuk strukur kognitif. Teori ini banyak memusatkan perhatiannya pada
konsepsi bahwa perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari
struktur kognitif yang telah dimiliki siswa.
Hakikat belajar menurut teori kognitif
merupakan suatu aktivitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi,
reorganisasi perceptual, dan proses internal. Atau dengan kata lain, belajar
merupakan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang
dapat diamati atau diukur. Dengan asumsi bahwa setiap orang telah memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif
yang dimilkinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran
atau informasi baru beradaptasi dengan struktur kognitif tang telah dimiliki
seseorang.
Beberapa Prinsip Teori Ausubel adalah
- Proses
belajar akan terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan pengetahuan
yang tlah dimilikinya dengan pengetahuan baru
- Proses
belajar akan terjadi melalui tahap-tahap memperhatikan
stimulus, memamahi makna stimulus, menyimpan dan menggunakan informasi
yang sudah dipahami
- Siswa
lebih ditekankan unuk berpikir secara deduktif (konsep advance
organizer)
Adapun aplikasi teori kognitif dalam
pembelajaran :
- Keterlibatan
siswa secara aktif amat dipentingkan
- Untuk
meningkatkan minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengaitkan
pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa.
- Materi
pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari
sederhana ke kompleks.
- Perbedaan
individu pada siswa perlu diperhatikan karena faktor ini sangat
mempengaruhi keberhasilan belajar.
C. TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
Konstruktivistik merupakan metode pembelajaran yang lebih
menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya
dalam mengkonstruksi pengalaman atau dengan kata lain teori ini memberikan
keaktifan terhadap siswa untuk belajar menemukan sendiri kompetensi,
pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan
dirinya sendiri. Dalam proses belajarnya pun, memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, untuk berfikir tentang
pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan imajinatif serta dapat
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik
memandang subyek untuk aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam
interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek
menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh
realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek
itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan
berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses
penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Adapun tujuan dari teori ini dalah sebagai
berikut:
- Adanya
motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu
sendiri.
- Mengembangkan
kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri
pertanyaannya.
- Membantu
siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman suatu konsep secara
lengkap.
- Mengembangkan
kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
- Lebih
menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks &
Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat
temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan
pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta
interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi
dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si
belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung
pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
Teori ini lebih menekankan perkembangan konsep dan
pengertian yang mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat
siswa. Jika seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya, meskipun usianya
tua tetap saja tidak akan berkembang pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap
benar bila pengetahuan itu berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan
atau fenomena yang sesuai. Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja,
melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan
juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang
terus-menerus. Dalam proses ini keaktifan seseorang sangat menentukan
perrkembangan pengetahuannya.
Unsur-unsur penting dalam teori
konstruktivistik:
- Memperhatikan
dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
- Pengalaman
belajar yang autentik dan bermakna
- Adanya
lingkungan social yang kondusif
- Adanya
dorongan agar siswa mandiri
- Adanya
usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah
Secara garis besar, prinsip-prinsip teori
konstruktivistik adalah sebagai berikut:
- Pengetahuan
dibangun oleh siswa sendiri.
- Pengetahuan
tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan
murid sendiri untuk menalar.
- Murid
aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan
konsep ilmiah.
- Guru
sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses konstruksi
berjalan lancar.
- Menghadapi
masalah yang relevan dengan siswa.
- Struktur
pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pernyataan.
- Mencari
dan menilai pendapat siswa.
- Menyesuaikan
kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Proses belajar konstrutivistik dapat
dilihat dari berbagai aspek, yaitu:
1) Proses belajar konstruktivistik
Esensi dari teori konstruktivistik adalah siswa harus
menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan
apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Sehingga dalam
proses belajar, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka dengan keterlibatan
aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
2) Peranan siswa
Dalam pembelajaran konstruktivistik, siswa menjadi pusat
kegiatan dan guru sebagai fasiitator. Karena belajar merupakan suatu proses
pemaknaan atau pembentukan pengetahuan dari pengalaman secara konkrit,
aktivitas kolaboratif, refleksi serta interpretasi yang harus dilukukan oleh
siswa sendiri.
3) Peranan guru
Guru atau pendidik berperan sebagai fasilitator artinya
membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan proses
pengkonstruksian pengetahuan agar berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan
pengetahuan yang dimilikinya pada siswa tetapi guru dituntut untuk memahami
jalan pikiran atau cara pandang setiap siswa dalam belajar.
4) Sarana belajar
Sarana belajar dibutuhkan siswa untuk mengembangkan
pengetahuan yang telah diperoleh agar mendapatkan pengetahuan yang maksimal.
5) Evaluasi hasil belajar
Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar yang
menekankan pada ketrampilan proses baik individu maupun kelompok. Dengan cara
ini, maka kita dapat mengetahui seberapa besar suatu pengetahuan telah dipahami
oleh siswa.
Aplikasi Teori Konstruktivistik Dalam
Pembelajaran :
- Membebaskan
siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah
ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengmbangkan
ide-idenya secara lebih bebas.
- Menempatkan
siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan
ide-ide atau gagasan-gagasan, kemudian memformulasikan kembali
ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
- Guru
bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah
kompleks, dimana terjadi bermacam-macam pandangan tentang
kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi.
- Guru
mengakui bahwa proses belajar serta penilaianya merupakan suatu
usaha yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah
dikelola.
Aplikasi Teori Konstruktivistik Dalam
Pembelajaran :
- Membebaskan
siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah
ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengmbangkan
ide-idenya secara lebih bebas.
- Menempatkan
siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan
ide-ide atau gagasan-gagasan, kemudian memformulasikan kembali
ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan.
- Guru
bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah
kompleks, dimana terjadi bermacam-macam pandangan tentang
kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi.
- Guru
mengakui bahwa proses belajar serta penilaianya merupakan suatu
usaha yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah
dikelola.
D. TEORI BELAJAR HUMANISTIK
Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai
dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab
itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang
kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian
psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari
dari pada proses belajar itu sendiri serta lebih banyak berbiacara tentang
konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta
tentang proses belajar dalam bentuk yang paling ideal.
Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting
dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si
belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur
kognitif yang telah dimilikinya. Teori humanistic berpendapat bahwa teori
belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia
yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang
yang belajar, secara optimal.
Teori humanistik bersifat sangat eklektik yaitu
memanfaatkan atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk
memanusiakan manusia dan mencapai tujuan yang diinginkan karena tidak dapat
disangkal bahwa setiap teori mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Banyak tokoh penganut aliran humanistik,
diantaranya:
1) Kolb
Pandangan Kolb tentang
belajar dikenal dengan “Belajar Empat Tahap” yaitu:
a. Tahap pandangan konkret
Pada tahap ini seseorang mampu atau dapat
mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya namun belum
memilki kesadaran tentang hakikat dari peristiwa tersebut,
b. Tahap pemgamatan aktif dan reflektif
Tahap ini seseorang semakin lama akan
semakin mampu melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa yang
dialaminya dan lebih berkembang.
c. Tahap konseptualisasi
Pada tahap ini seseorang mulai berupaya
untuk membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan
prosedur tentang sesuatu yang menjadi objek perhatiannya dan cara berpikirnya
menggunakan induktif.
d. Tahap eksperimentasi aktif
Pada tahap ini seseorang sudah mampu
mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan ke dalam situasi
nyata dan cara berpikirnya menggunakan deduktif.
2) Honey dan Mumford
Honey dan Mumford menggolongkan orang yang
belajar ke dalam empat macam atau golongan, yaitu:
a. Kelompok aktivis
Yaitu mereka yang senang melibatkan diri
dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh
pengalaman-pengalaman baru.
b. Kelompok reflector
Yaitu mereka yang mempunyai kecenderungan
berlawanan dengan kelompok aktivis. Dalam melakukan suatu tindakan kelompok ini
sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan.
c. Kelompok teoris
Yaitu mereka yang memiliki kecenderungan
yang sangat kritis, suka menganalisis, selalu berpikir rasional dengan
menggunakan penalarannya.
d. Kelompok pragmatis
Yaitu mereka yang memiliki sifat-sifat
praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-komsep,
dalil-dalil, dan sebagainya.
3) Habermas
Menurut Habernas, belajar baru akan tejadi
jika ada interaksi antara individu dengan lingkungannya. Ia membagi tipe
belajar menjadi tiga, yaitu:
a. Belajar teknis (technical learning)
Yaitu belajar bagaimana seseorang dapat
berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar.
b. Belajar praktis (practical learning)
Yaitu belajar bagaimana seseorang dapat
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di
sekelilingnya dengan baik.
c. Belajar emansipatoris (emancipatory
learning)
Yaitu belajar yang menekankan upaya agar
seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran tinggi akan terjadinya
perubahan atau transformasi budaya dengan lingkungan sosialnya.
4). Bloom dan Krathwohl
Bloom dan Krathmohl lebih menekankan
perhatiannya pada apa yang mesti dikuasai oleh individu (sebagai tujuan
belajar), setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajarnya
dikemukakan dengan sebutan Taksonomi Bloom, yaitu:
a. Domain kognitif, terdiri atas 6
tingkatan, yaitu:
1) Pengetahuan
2) Pemahaman
3) Aplikasi
4) Analisis
5) Sintesis
6) Evaluasi
b. Domain psikomotor, terdiri atas 5
tingkatan, yaitu:
1) Peniruan
2) Penggunaan
3) Ketepatan
4) Perangkaian
5) Naturalisasi
c. Domain afektif, terdiri atas 5
tingkatan, yaitu:
1) Pengenalan
2) Merespon
3) Penghargaan
4) Pengorganisasian
5) Pengalaman
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Meskipun teori humanistik sering dikritik karena sulit diterapkan dalam konteks yang lebih praktis dan dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi dari pada bidang pendidikan, sehingga sulit diterjemahkan ke dalam langkah-langkah yang lebih konkret dan praktis. Namun sumbangan teori ini amat besar. Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru untuk memahami hakikat kejiwaan manusia.
Dalam praktiknya teori ini cenderung
mengarahkan siswa untuk berpikir induktif, mementingkan pengalaman, serta
membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar.
E. TEORI BELAJAR SIBERNETIK
Teori belajar sibernetik merupakan teori belajar yang
relatif baru dibandingkan dengan teori-teori yang sudah dibahas sebelumnya.
Menurut teori ini, belajar adalah pengolahan informasi. Proses belajar memang
penting dalam teori ini, namun yang lebih penting adalah system informasi yang
diproses yang akan dipelajari siswa. Asumsi lain adalah bahwa tidak ada satu
proses belajarpun yang ideal untuk segala situasi, dan yang cocok untuk semua
siswa. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi.
Implementasi teori sibernetik dalam kegiatan pembelajaran
telah dikembangkan oleh beberapa tokoh dengan beberapa teori, diantaranya:
1. Teori pemrosesan informasi
Pada teori ini, komponen pemrosesan
informasi dibagi menjadi tiga berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk
informasi, serta proses terjadinya. Ketiga komponen itu adalah:
a. Sensory Receptor (SR)
SR merupakan sel tempat pertama kali
informasi diterima dari luar.
b. Working Memory (WM)
WM diasumsikan mampu menangkap informasi
yang diberi perhatian oleh individu. Karakteristik WM adalah :
1) Memiliki kapasitas yang terbatas, kurang
dari 7 slot. Informasi yang didapat hanya mampu bertahan kurang lebih 15 detik
apabila tanpa adanya upaya pengulangan (rehearsal).
2) Informasi dapat disandi dalam bentuk
yang berbeda dari stimulus aslinya baik dalam bentuk verbal, visua, ataupun
semantic, yang dipengaruhi oleh peran proses kontrol dan seseorang dapat dengan
sadar mengendalikannya.
c. Long Term Memory (LTM)
LTM diasumsikan :
1) Berisi semua pengetahuan yang telah
dimilki oleh individu
2) Mempunyai kapasitas tidak terbatas
3) Sekali informasi disimpan di dalam LTM
ia tidak akan pernah terhapus atau hilang. Persoalan “lupa” hanya disebabkan
oleh kesulitan atau kegagalan memunculkan kembali informasi yang diperlukan.
Asumsi yang mendasari teori pemrosesan informasi ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran
meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4)
penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan
balik.
2. Teori belajar menurut Landa
Dalam teori ini Landa membedakan ada dua
macam proses berpikir, yaitu:
a. Proses berpikir algoritmik
Yaitu proses berpikir yang sistematis,
tahap demi tahap, linier, konvergen, lurus, menuju ke satu target tujuan
tertentu.
b. Proses berpikir heuristik
Yaitu cara berpikir devergen yang menuju ke
beberapa target tujuan sekaligus.
Menurut Landa proses belajar akan berjalan dengan baik
jika materi pelajaran yang hendak dipelajari atau masalah yang hendak
dipecahkan diketahui cirri-cirinya. Materi pelajaran tertentu akan lebih tepat disajikan
dalam urutan yang teratur, sedangkan materi pelajaran lainnya akanlebih tepat
bila disajikan dalam bentuk “terbuka” dan memberi kebebasan kepada siswa untuk
berimajinasi dan berpikir.
3. Teori belajar menurut Pask dan Scott
Menurut Pask dan Scott ada dua macam cara
berpikir, yaitu:
a. Cara berpikir serialis
Cara berpikir ini hampir sama dengan cara
berpikir algoritmik. Yaitu berpikir menggunakan cara setahap demi setahap atau
linier.
b. Cara berpikir menyeluruh atau wholist
Cara berpikir yang cenderung melompat ke
depan, langsung ke gambaran lengkap sebuah sistem informasi atau mempelajari
sesuatu dari yang paling umum menuju ke hal yang lebih khusus.
Teori belajar pengolahan informasi termasuk
teori kognitif yang mengemukakan bahwa belajar adalah proses internal yang
tidak dapat diamati secara langsung dan merupakan perubahan kemampuan yang
terikat pada situasi tertentu. Namun memori kerja manusia mempunyai kapasitas
yang terbatas. Menurut Gagne, untuk mengurangi muatan memori kerja tersebut
dapat diatur sesuai dengan:
a. Kapabilitas belajar
b. Peristiwa pembelajaran
c. Pengorganisasian atau urutan pembelajaran
Tahap sebernetik sebagai teori belajar
sering kali dikritik karena lebih menekankan pada sistem informasi yang akan
dipelajari, sementara itu bagaimana proses belajar berlangsung dalam diri
individu sangat ditentukan oleh sistem informasi yang dipelajari. Teori ini
memandang manusia sebagai pengolah informasi, pemikir, dan pencipta.
Berdasarkan itu, maka diasumsikan bahwa manusia merupakan makhluk yang mampu
mengolah, menyimpan, dan mengorganisasikan informasi.
F. TEORI BELAJAR REVOLUSI SOSIOKULTURAL
Pembahasan pada teori ini diarahkan pada hal-hal seperti
teori belajar Piagetin dan teori belajar Vygotsky. Berikut ini pembahasan
tentang kedua teori tersebut.
1. Teori Belajar Piagetin
Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu
proses genetik, yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dalam
bentuk perkembangan syaraf. Kegiatan belajar terjadi seturut dengan pola
tahap-tahap perkembangan tertentu dan umur seseorang. Perolehan kecakapan
intelektual akan berhubungan dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang
mereka rasakan dan ketahui pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat suatu
fenomena baru sebagai pengalaman dan persoalan. Untuk memperoleh keseimbangan atau
equilibrasi, seseorang harus melakukan adaptasi dengan lingkungannya. Proses
adaptasi terdiri dari asimilasi dan akomodasi. Melalui asimilasi siswa
mengintegrasikan pengetahuan baru dari luar ke dalam struktur kognitif yang
telah ada dalam dirinya.sedangkan melalui akomodasi siswa memodifikasi struktur
kognitif yang ada dalam dirinya dengan pengetahuan yang baru.
Teori konflik-sosiokognitif Piaget ini mampu berkembang
luas dan merajai bidang psikologi dan pendidikan. Namun bila dicermati ada
beberapa aspek dari teori Piaget yang dipandang dapat menimbulkan implikasi
kontraproduktif pada kegiatan pembelajaran jika dilihat dari perspektif
revolusi-sosiokultural saat ini. Dilihat dari asal usul pengetahuan, Piaget
cenderung menganut teori psikogenesis. Artinya, pengetahuan berasal dari dalam
diri individu. Dalam proses belajar, siswa berdiri terpisah dan berinteraksi
dengan lingkungan social. Ia mengkonstruksi pengetahuannya lewat tindakan yang
dilakukannya terhadap lingkungan sosial.
Di samping itu, dalam kegiatan belajar
Piaget lebih mementingkan interaksi antara siswa dengan kelompoknya.
Perkembangan kognitif akan terjadi dalam interaksi antara siswa dengan kelompok
sebayanya dari pada dengan orang-orang yang lebih dewasa. Pembenaran terhadap
teori ini jika diterapkan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran akan
kurang sesuai dengan perspektif revolusi-sosiokultural yang sedang diupayakan
saat ini.
2. Teori Belajar Vygotsky
Pandangan yang mampu mengakomodasi teori
revolusi-sosiokultural dalam teori belajar dan pembelajaran dikemukakan oleh
Lev Vygotsky. Ia mengatakan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari
latar sosial-budaya dan sejarahnya. Artinya, untuk memahami pikiran seseorang
bukan dengan cara menelusuri apa yang ada di balik otaknya dan pada kedalaman
jiwanya, melainkan dari asal usul tindakan sadarnya, dari interaksi social yang
dilatari oleh sejarah hidupnya.
Mekanisme teori yang digunakan untuk menspesifikasi
hubungan antara pendekatan sosio-kultural dan pemfungsian mental didasarkan
pada tema mediasi semiotik, yang artinya adalah tanda-tanda atau
lambang-lambang beserta makna yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai
penengah antara rasionalitas dalam pendekatan sosio-kultural dan manusia
sebagai tempat berlangsungnya proses mental.
Menurut Vygotsky, perolehan pengetahuan dan
perkembangan kognitif seseorang seturut dengan teori sociogenesis. Dimensi
kesadaran social bersifat primer, sedangkan dimensi individualnya bersifat
derivative atau merupakan turunan dan bersifat sekunder. Artinya, pengetahuan
dan perkembangn kognitif individu berasal dari sumber-sumber sosial di luar
dirinya. Konsep-konsep penting teori sociogenesis Vygotsky tentang perkembangan
kognitif yang sesuai dengan revolusi-sosiokultural dalam teori belajar dan pembelajaran
adalah:
a. Hukum genetik tentang perkembangan
(genetic law of development)
Menurut Vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumuh
dan berkembang melewati dua tataran, yaitu tataran sosial tempat orang-orang
memebentuk lingkungan sosialnya, dan tataran psikologis di dalam diri orang
yang bersangkutan. Pandang teori ini menempatkan intermental atau lingkungan
sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan
serta perkembangan kognitif seseorang.
b. Zona perkembangan proksimal (zone of
proximal development)
Menurut Vygotsky, perkembangan kemampuan seseorang dapat
dibedakan ke dalam dua tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual dan
perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan
seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah
secara mandiri. Ini disebut kemampuan intramental. Sedangkan tingkat
perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan
tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau
ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten, ini disebut
kemampuan itermental. Jarak antara keduanya, yaitu tingkat perkembangan aktual
dan potensial ini disebut zona perkembangan proksimal. Zona perkembangan proksimal
diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang yang
masih berada pada proses pematangan. Gagasan Vygotsky tentang zona perkembangan
proksimal ini mendasari perkembangan teori belajar dan pembelajaran untuk
meningkatkan kualitas dan mengoptimalkan perkembangan kognitif anak. Beberapa
konsep kunci yang perlu dicatat adalah bahwa perkembangan dan belajar bersifat
interdependen atau saling terkait, perkembangan kemampuan seseorang bersifat
context dependent atau tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, dan sebagai
fundamental dalam belajar adalah partisipasi dalam kegiatan sosial.
c. Mediasi
Ada dua jenis mediasi, yaitu mediasi metakognitif dan
mediasi kognitif. Mediasi metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotik
yang bertujuan untuk melakukan regulasi diri, meliputi self planning,
self-monitoring, self-checking, dan self-evaluating. Sedangkan mediasi kognitif
adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan masalah yang berkaitan
dengan pengetahuan tertentu atau subject-domain problem serta berkaitan pula
dengan konsep spontan (yang bisa salah) dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin
kebenarannya).
Pendekatan kognitif dalam belajar dan
pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget yang kemudian berkembang ke dalam aliran
konstruktivistik juga masih dirasakan kelemahannya. Teori ini bila dicermati
ada beberapa aspek yang dipandang dapat menimbulkan implikasi kontraproduktif
dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih mencerminkan ideologi
G. TEORI BELAJAR GESTALT
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang
mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan
Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai
sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh
prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
- Hubungan
bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa
setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar
belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan
sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar
bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar
dan figure.
- Kedekatan
(proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun
ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk
tertentu.
- Kesamaan
(similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan
dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
- Arah
bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang
berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure
atau bentuk tertentu.
- Kesederhanaan
(simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk
yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan
yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
- Ketertutupan
(closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek
atau pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat empat asumsi yang mendasari
pandangan Gestalt, yaitu:
- Perilaku
“Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku
“Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi
otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku
dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti
kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku
“Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
- Hal
yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan
geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah
lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk
pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh
seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal
kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat
(lingkungan geografis).
- Organisme
tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian
peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa.
Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo,
pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain,
gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
- Pemberian
makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses
yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan
merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap
rangsangan yang diterima.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran
antara lain :
- Pengalaman
tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam
perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki
kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam
suatu obyek atau peristiwa.
- Pembelajaran
yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait
akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas
makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal
ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam
identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal
yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan
logis dengan proses kehidupannya.
- Perilaku
bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan.
Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada
keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses
pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang
ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai
arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami
tujuannya.
- Prinsip
ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan
dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan
hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan
kehidupan peserta didik.
- Transfer
dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi
pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer
belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu
konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam
situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan
pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran
dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer
belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip
pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian
digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu,
guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai
prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
Penerimaan Siswa Baru SMP Negeri 1 Biak Kota tahun 2018.,
smpn1biakkota.sch.id
|
H. TEORI BELAJAR KECERDASAN GANDA
Kecerdasan adalah suatu kemampuan untuk
memecahkan masalah atau menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan di dalam latar
budaya tertentu. Seseorang dikatakan cerdas bila ia dapat memecahkan masalah
yang dihadapi dalam hidupnya dan mampu menghasilkan sesuatu yang berharga atau
berguna bagi dirinya maupun umat manusia. Howard Gardner memperkenalkan hasil
penelitiannya yang berkaitan dengan teori kecerdasan ganda, yaitu teorinya
tentang menghilangkan anggapan yang ada selama ini tentang kecerdasan manusia.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada satupun kegiatan manusia yang
hanya menggunakan satu macam kecerdasan, melainkan seluruh kecerdasan yang ada.
Semua kecerdasan tersebut bekerja sama sebagai satu kesatuan yang utuh dan
terpadu. Komposisi keterpaduannya tentu saja berbeda-beda pada masing-masing
orang. Namun kecerdasan tersebut dapat diubah dan ditingkatkan. Kecerdasan yang
paling menonjol akan mengontrol kecerdasan-kecerdasan lainnya dalam memecahkan
masalah. Berikut ini beberapa kecerdasan manusia, yaitu:
- Kecerdasan
verbal/Bahasa (verbal linguistic intelligence)
- Kecerdasan
logika/matematik (logical mathematical intelligence)
- Kecerdasan
visual/ruang (visual/spatial intelligence)
- Kecerdasan
tubuh/gerak tubuh (body/kinesthic intelligence)
- Kecerdasan
musical/ritmik (musical/rhythmic intelligence)
- Kecerdasan
interpersonal (interpersonal intelligence)
- Kecerdasan
intrapersonal (intrapersonal intelligence)
- Kecerdasan
naturalis (naturalistic intelligence)
- Kecerdasan
spiritual (spiritualist intelligence)
- Kecerdasan
eksistensial (exsistensialist intelligence)
Dalam pembelajaran geometri terdapat teori belajar
yang dikemukakan oleh van Hiele (1954) yang menguraikan
tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri.
van Hiele adalah seorang guru
bangsa Belanda yang mengadakan penelitiandalam
pembelajaran geometri. Penelitian yang
dilakukan van Hiele melahirkan
beberapa kesimpulan
mengenai tahap-tahap
perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. van
Hielemenyatakan bahwa terdapat 5 tahap pemahaman
geometri yaitu: pengenalan, analisis, pengurutan,
deduksi, dan akurasi.
a) Tahap Visualisasi (Pengenalan)
Pada tingkat ini, siswa memandang
sesuatu bangun geometri sebagai suatu
keseluruhan (holistic). Pada tingkat ini siswa
belum memperhatikan komponen- komponen dari masing-masing bangun.
Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah
mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati
ciri-ciri dari bangun itu. Sebagai
contoh, pada tingkat ini siswa
tahu suatu bangun bernama
persegipanjang, tetapi ia belum menyadari
ciri-ciri bangun persegipanjang tersebut.
b) Tahap Analisis (Deskriptif)
Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun
geometri berdasarkan ciri- ciri dari masing-masing bangun.
Dengan kata lain, pada tingkat ini siswa
sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang
ada pada suatu
bangun dan mengamati
sifat-sifat yang dimiliki oleh
unsur-unsur tersebut. Sebagai contoh, pada
tingkat ini siswa
sudah bisa
mengatakan bahwa
suatu bangun merupakan persegipanjang
karena bangun itu “mempunyai empat sisi,
sisi-sisi yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku.”
c) Tahap Deduksi Formal (Pengurutan atau Relasional)
Pada tingkat ini, siswa
sudah bisa memahami hubungan antar
ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai
contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan
bahwa jika pada
suatu segiempat sisi-sisi yang
berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama
panjang. Di samping itu pada
tingkat ini siswa
sudah memahami pelunya
definisi untuk tiap-tiap bangun.
Pada tahap ini,
siswa juga
sudah bisa memahami
hubungan antara bangun yang satu dengan
bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini
siswa sudah bisa memahami
bahwa setiap persegi
adalah juga persegipanjang, karena
persegi juga memiliki ciri-ciri persegipanjang.
d) Tahap Deduksi
Pada tingkat ini (1) siswa sudah
dapat mengambil kesimpulan secara deduktif,
yakni menarik kesimpulan dari
hal-hal yang bersifat khusus,
(2) siswa mampu memahami pengertian-pengertian
pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam
geometri, dan (3) siswa sudah mulai mampu menyusun
bukti-bukti secara formal. Ini berarti
bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami
proses berpikir yang bersifat
deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berpikir
tersebut.
Sebagai contoh untuk menunjukkan
bahwa jumlah sudut-sudut dalam jajargenjang
adalah 360° secara
deduktif dibuktikan dengan menggunakan
prinsip kesejajaran. Pembuktian secara induktif yaitu dengan
memotong-motong sudut-sudut benda jajargenjang,
kemudian setelah itu ditunjukkan semua
sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh
atau 360° belum tuntas dan belum tentu
tepat. Seperti diketahui bahwa
pengukuran itu pada
dasarnya mencari nilai yang paling dekat
dengan ukuran yang sebenarnya. Jadi, mungkin saja dapat
keliru dalam mengukur sudut- sudut jajargenjang tersebut.
Untuk itu pembuktian secara deduktif merupakan cara yang tepat
dalam pembuktian pada matematika.
Anak pada tahap ini telah mengerti pentingnya
peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan,
di samping unsur-unsur yang
didefinisikan, aksioma atau problem,
dan teorema. Anak pada
tahap ini belum memahami
kegunaan dari suatu sistem deduktif.
Oleh karena itu, anak
pada tahap ini
belum dapat menjawab pertanyaan:
“mengapa sesuatu itu perlu disajikan dalam bentuk
teorema atau dalil?”
e) Tahap Akurasi (tingkat metamatematis atau keakuratan)
Pada tingkat ini anak sudah memahami betapa pentingnya
ketepatan dari prinsip- prinsip dasar yang melandasi
suatu pembuktian. Sudah memahami mengapa sesuatu
itu dijadikan postulat atau dalil. Dalam
matematika kita tahu bahwa betapa pentingnya
suatu sistem deduktif. Tahap keakuratan
merupakan tahap tertinggi dalam memahami geometri.
Pada tahap ini memerlukan
tahap berpikir yang kompleks
dan rumit, siswa mampu melakukan penalaran
secara formal tentang
sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem
geometri), tanpa membutuhkan model-model
yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, siswa memahami
bahwa dimungkinkan adanya lebih
dari satu geometri. Sebagai contoh,
pada tingkat ini siswa
menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada
suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut
juga akan berubah. Sehingga,
pada tahap ini siswa
sudah memahami adanya
geometri-geometri yang lain di samping geometri
Euclides.
Daftar Pustaka
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi
Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Remaja.
H, Djali. 2007. Psikologi Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara.
M, Dalyono. 1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Muhibin, Syah. 2002. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sumanto, Wasty. 2006. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
M, Dalyono. 1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Muhibin, Syah. 2002. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sumanto, Wasty. 2006. Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.